Lampu Hijau, Jakarta Timur – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut rektor dan mantan direktur Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (STT Setia) Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon, 9 tahun penjara. Keduanya juga dituntut jaksa denda Rp 1 miliar atas perkara dugaan penerbitan ijazah palsu tersebut.
Saksi sekaligus pelapor, Willem Frans Ansyanay, mengaku puas dengan tuntutan JPU. Sebab hal itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Bahwa mengenai tuntutan jaksa dan sebagainya, 9 tahun buat para korban dan pelapor kami merasa itu sesuai dengan bunyi undang-undang yang kita gunakan sebagai dasar untuk menuntut ijazah yang belakangan diketahui statusnya tidak diakui oleh negara,” ujar Willem kepada wartawan, Sabtu (26/5/2018).
Menurut dia, rasa keadilan para korban sejenak terpenuhi oleh tuntutan jaksa.
Terkait pengacara terdakwa yang tak puas dengan tuntutan, Willem menilai hal tersebut wajar. Namun ia menyangkal jika upaya hukum yang pihaknya lakukan sebagai wujud kriminalisasi. Sebab dasar hukum yang diduga dilanggar dinilai sangat tegas dan jelas.
“Jadi kalau membuktikan ini bahwa salah, terus kalau dibilang (pengacara terdakwa) negara membuat warga negaranya yang ingin mencerdaskan anak bangsa itu seolah-olah dikriminalisasi, itu menurut saya keliru,” tutur dia.
Willem juga menanggapi kuasa hukum terdakwa yang menyebut kliennya diperlakukan selayaknya teroris. Menurut dia, apa yang dilakukan Matheus dan Ernawaty bahkan lebih luas dampaknya dibanding yang dikerjakan teroris. Karenanya, proses hukum yang sedang berjalan sudah sepatutnya dilakukan.
“Teroris membunuh saat itu mati. Tapi kalau pendidikan (yang salah) membunuh itu pelan-pelan, korban lebih banyak. Hari ini bapak atau mamanya jadi guru, (selanjutnya) anaknya bisa jadi korban atau cucunya bisa jadi korban,” tandas dia.
Diketahui, rektor dan mantan direktur Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (STT Setia) Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon, diadili lantaran dianggap bertanggung jawab menerbitkan ijazah yang diduga palsu. Ijazah dinilai palsu, lantaran ketika digunakan salah satu korban Emelin Angke untuk melamar pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Papua, tak berlaku. Padahal sebelum mendaftar, pihak kampus disebut menjanjikan secarik kertas tersebut bisa digunakan sebagaimana fungsinya.
Karena itu para terdakwa dilaporkan ke polisi dan dijerat Pasal 67 Ayat (1 ) Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. (RIZ)
http://lampuhijau.co/2018/05/26/pelapor-anggap-yang-dilakukan-rektor-stt-setia-lebih-berdampak-ketimbang-terorisme/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pelapor Anggap yang Dilakukan Rektor STT Setia Lebih Berdampak Ketimbang Terorisme"
Post a Comment